Selasa, September 22, 2015

Desember, 8 huruf 1000 makna



Dalam rangka memperingati hari kelahiran @shamposachet dan dalam rangka mengikuti acara #HBDNtap yang diadakan beliau maka saya akan berbagi cerita tentang bulan yang sangat berkesan di dalam hidup saya. Begini ceritanya.

Desember, beberapa puluh tahun lalu gue dilahirkan di dunia. Kenapa ga bulan lain aja sih kenapa harus desember? Bulan yang ada di penghujung tahun. Bulan yang merupakan bulan liburan dan banyak di nantikan orang. Entah karena menunggu bonus tahunan ataupun menunggu pergantian tahun. Desember bagi gue bukan hanya soal bulan dimana gue dilahirkan, desember bagi gue merupakan bulan dimana banyak hal kecil dan besar terjadi dan membuat banyak perubahan di dalam hidup gue.

Desember 2007.  Ini dimana gue mengikuti pendidikan dasar pecinta alam. Semua ilmu dan basic gue dalam berkegiatan di alam bebas semua lahir di bulan ini. Hujan bulan desember memberi kenangan manis sekaligus pahit. Tidur di dalam bivak (tenda yang dibuat dari jas hujan) saat hujan setiap hari dan sepanjang malam. Tidur bukan beralaskan tanah melainkan air. Percis kaya cucian piring. Dibangunkan tengah malam dalam keadaan kedinginan karena pakaian yang sudah 3 hari tidak diganti dan basah hanya untuk push up agar suhu badan tetap terjaga. Pagi harinya dalam keadaan lapar hanya bisa memakan nasi yang setengah matang dan sayur yang terbuat dari tanaman di sekitar camping ground. Menuju siang tubuh  yang sudah tidak karuan bau dan bentuknya ini berjalan menyusuri hutan untuk mencari jalan agar tidak tersesat, latihan navigasi darat namanya. Namun semua perjuangan itu dibayar tunai dengan ilmu dan kepribadian yang tangguh bersemayam di dalam jiwa dan raga gue sampai detik ini.

Desember 2008. Ini pertama kalinya gue naik gunung. Pertama kalinya. Menembus 2 puncak gunung, puncak gunung gede dan pangrango dalam waktu 2 hari 1 malam merupakan hal terberat yg dilakukan seseorang yang pertama kali baru mendaki gunung. Apakah berjalan lancar? Tentu tidak. Dalam perjalan turun dari puncak kedua, ya itu pangrango, menuju pos awal bahan makanan sudah habis dan sumber pencahayaan terbatas. Kebetulan sekali waktu itu sudah gelap. Dan apa yang terjadi? Tubuh gue sudah tidak kuat lagi, lemas, dan hampir pingsan. Hipotermia sudah menjalar di tubuh gue. Batas antara hidup dan mati cuma sebatas kemauan. Kemauan untuk hidup atau kemauan untuk mati. Air yang menggenang di tanah sisa hujan semalam pun menjadi jalan satu satunya kemauan untuk hidup. Mebasahi kerongkongan air genangan tersebut menjadi harapan agar tubuh gue masih bisa diperintah oleh otak agar bisa bergerak. Namun, kenyataan selalu jauh dari harapan. Beberapa kali gue coba berjalan namun jalan yang gue jejaki selalu salah, selalu menuju jurang, bukan jalan pulang. Lalu apa yg selanjutnya terjadi? Gue harus merelakan tubuh gue yang suci ini dijamah oleh teman gue untuk di gendong di punggung agar lekas tiba di tempat tujuan. Dan sampai detik ini gue masih hidup dan menulis cerita ini. Terima kasih bang aha dari padang, pertemuan pertama kita bukan dibuka dengan obrolan yang asik melainkan dibuka oleh seonggok daging yang bernama dan bernyawa, nemplok dipunggungmu. Dan sejak kejadian itu, sampai sekarang gue menjadi manusia yang penuh dengan perencanaan agar kejadian serupa tidak terjadi kembali.

Desember 2013.  Setelah beberapa tahun desember gue selalu diisi dengan perjuangan gue untuk tetap hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik. Desember kali ini diisi dengan sesuatu yang mematikan. Cinta. Alias kenangan pahit.

“kamu dimana?” sebuah pesan singkat gue kirimkan dari ponsel butut gue. Sudah hampir satu jam gue berkeringat di teras rumah. Bukan karena sedang berolah raga atau sedang makan makanan pedas ataupun berkeringat karena nahan bera. Gue sibuk packing untuk persiapan mendaki papandayan. Walaupun gue sudah berkali kali menapaki berbagai puncak selama bertahun tahun dan ini merupakan perjalan ke 3 kalinya gue ke papandayan, tapi gue deg deg an karena perjalanan kali ini adalah pertama kalinya gue mendaki hanya berdua, dan bersama mantan. Semua persiapan gue lakukan sendiri dan berkali kali gue cek agar tidak ada yang tertinggal, karena akan sangat fatal kalo ada yang salah karena semua kontrol ada di gue.
“aku udah siap, kamu kerumah aja” balasan pesan singkat yang gue kirim 15 menit yang lalu sukses bertengger di lcd henpon gue. Segera gue mempercepat semua persiapan dan bergegas melakukan perjalanan.

Base camp papandayan 8:00 am

“berapa orang mas?”
“2 an kang”
Percakapan gue dengan ranger gunung papandayan saat mendaftarkan diri untuk pendakian. Hari ini cukup ramai, sangat ramai malah. Papandayan merupakan destinasi favorit para pendaki apalagi setelah mendaki gunung menjadi kegiatan wajib pemuda pemudi masa kini. Mendaki gunung untuk menengkan pikiran dan mencari kesunyian? Jangan harap bisa gue dapatkan saat ini. Berbeda dengan kondisi beberapa tahun yang lalu, gunung masih menjadi tempat favorit gue untuk menyendiri.

Kumpulan orang orang mulai berjalan menyemut di jalan berbatu. Tas besar menghiasi punggung mereka namun dengan jiwa yang sama sekali bukan mereka. Semua terlihat begitu mudah dimata gue untuk membedakan mana yang benar benar mendaki karena jiwa dan mana yang bukan.

“ayo jalan” suara cempreng seorang gadis yang dari tadi sibuk membetulkan tali sepatunya terdengar di kuping , suara itu merambat ke syaraf otak mengirimkan sinyal ke kepala untuk menoleh dan dilanjutkan dengan perintah otak kecil untuk bibir agar gue tersenyum.

“yuk lah keburu siang nih” jawab gue singkat seraya mengakat tas besar berisi segala perlengkapan mendaki.

Kami berdua pun berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. Kanan kiri kami terhampar batuan batuan yang bercampur belerang. Dan sesekali celah bebatuan tersebut mengepulkan asap yang membuat orang orang yang ada disekitar tempat itu menutup hidung karena baunya yang seperti bau kentut orang yang sudah seminggu tidak buang air besar. Matahari bersinar terik diatas kepala kami, Lelah karena berjalan, kalori yg terbakar ditambah cahaya matahari yg membakar kulit membuat keringat mengucur sangat deras. Membuat kami sesekali harus istirahat di bawah pohon.

“kamu tau apa yang aku paling sukai ketika tracking?” sebuah pertanyaan meluncur dari mulut gue begitu saja?

“apa emang? Pasti ngeliatin muka aku ya?”

“hmm kurang tepat”

“terus apa?”

“air dan matahari”

“kenapa air dan matahari?”

“kenapa aku suka air dan matahari ketika tracking adalah karena keduanya hal yang penting”

“aku tau aku tau, pasti karena kalo ga ada matahari pasti hujan, kalo hujan jalan jadi licin terus baju jadi basah terus kamu kalo hujan kan susah ngeliat. Kalo air karena bisa ngilangin aus. Bener ga?
“jawaban yang bagus tapi masih kurang tepat”

“terus kenapa?”

“matahari dan air itu sebenarnya musuh, bener kata kamu, kalo ga ada matahari pasti hujan, karena hujan air turun.  Keduanya ga pernah muncul bersamaan. Makanya aku bilang mereka musuh. Tapi yang namanya musuh pasti pernah akur. Mereka pernah mucul bersamaan tapi jarang kan, tau kan yang disebut hujan orang meninggal?”

“iya tau tau, terus hubungannya kamu suka sama matahari dan air waktu tracking apa?”

“gini, karena sifat mereka yang dasarnya berlainan dan bermusuhan, itu jadi salah satu faktor orang berhasil mendaki. Terutama buat aku. Mereka itu seperti kangen dan ketemuan. Mereka itu penyakit dan obat. Matahari itu penyakit, air itu obat. Selama di perjalanan matahari terus bikin orang kepanasan, bikin cape, ketika cape dan panas maka minum air untuk meredakannya. Tapi disisi lain, namanya penyakit pasti ada sisi baik kenapa penyakit bisa ada. Matahari ada sebernarnya untuk menyemangati dan menyakiti agar kita terus terusan semangat berjalan agar sampai ketempat tujuan. Kalo ga mau sakit dan terus terusan minum obat makanya harus sehat, bagaimana caranya biar sehat? Ya sampai ketempat tujuan.”

“oh gitu bener juga kamu kadang kadang”

“jadi masih mau sakit dan minum obat terus?”

“nggaaaaa”

“yaudah ayo kita sembuh”

Kami berdua pun bangkit dari tempat peristirahatan dan kembali melanjutkan perjalanan. Setelah memberikan suntikan semangat dengan filosofi gue yang gue sendiri anggep aneh dan ga tau kenapa gue bisa bilang begitu, perjalanan jadi lebih cepat dan kami pun sampai di tempat tujuan lebih awal dari waktu yang telah di perkirakan.

Hamparan pohon edelweis terlihat begitu riuh menyambut kedatangan kami. Karena lelah dan ingin beristirahat dan makan kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda dan memasak makan siang.

10.00 am

Matahari sudah lama meninggalkan kami dan pekerjaannya digantikan oleh bulan dan bintang. Hawa dingin khas dataran tinggi mulai nakal mencoba menggangu kenyamanan kami. Api dan asap putih menari nari di atas kayu yang terbakar seolah tidak terganggu oleh dingin yang juga coba mengusik mereka.

“kamu kenapa diem aja? Mulutnya di silent?” ucap gue memcah keheningan kami yang sedaritadi hanya duduk menyaksikan pagelaran tari yang di suguhkan oleh api unggun.

“aku ngantuk”

“masa ngantuk” telunjuk dan jempol gue mencoba membuka kelopak matanya.

“iihh sakit”

“kok panas matanya? Kamu sakit?”

“……”
Benar perkiraan gue tenyata dia emang sakit, mungkin kelelahan. Gue segera merapihkan tenda agar dia bisa beristirahat. Setelah rapih dia masuk dan terlelap. Gue memutuskan untuk tetap terjaga sepanjang malam agar terus tau tentang kodisi tubuhnya.

Bulan dan bintang malam ini begitu ramai seolah sedang dalam kompetisi menunjukan siapa yang paling cantik. Angin lembah pun tak mau kalah eksis menunjukan kehadirannya. Suatu perpaduan yang sangat bikin goyah untuk masuk kedalam tenda dan menghangatkan diri di dalam sleeping bag.
Satu jam sekali gue masuk ke dalam tenda untuk mengetahui kondisi tubuhnya, apakah lebih baik atau menjadi lebih buruk. Gelas kopi dan roko menjadi pendengar yang baik saat gue bernyanyi dengan nada dasar c sama dengan m minor alias mendingan ngga usah nyanyi sama sekali. Entah sudah berapa kali gelas dan rokok tersebut bolak balik ke dokter tht selama gue nyanyi dari gelap sampai matahari terbit. Sampai akhirnya kondisi tubuhnya membaik gue putuskan untuk tidur sejenak.

8.00 am

Satu jam kurang lebih gue tidur, sungguh porsi tidur yang sangat jauhdari kata sehat. Apalagi kemarin sehabis mendaki seharian dan di tambah terjaga sepanjang malam di kesunyian malam yang dingin dan gelap sepi benakku melayang pada kisah kita nya slank, lah apaan.
Saat membuka mata, pikiran gue di penuhi dengan pertanyaan pertanyaan yang ingin sekali keluar dengan nada yang kasar dan keras karena hal yang gue liat saat itu. Namun gue memilih tidak mengikuti keinginan gue tersebut. Gue memilih untuk bangun, duduk, dan ngecengin belek yang lagi mojok di ujung mata sampe salting.

“aku ga tau kalo kamu punya jersey chelsea, sejak kapan kamu jadi suka bola perasaan pas sama aku kamu ga suka bola deh” ucap gue mengomentari jersey yang dia kenakan.

“oh ini, ini punya angga”

Well pertanyaan gue dari pikiran pikiran gue tadi terjawab dengan singkat padat dan jelas. Jelas menyakitkan.

Gue segera beranjak dan memasak makanan untuk sarapan. Karena siang ini kami akan segera pulang dan kembali menjalankan rutinitas yang membosankan. Ada hening yang panjang selama gue memasak, padahal saat ini dia menemani gue sibuk mengontrol api dan memotong ini itu. Seperti nun mati yang bertemu wau yang bertemu tapi tak saling sapa.

Makanan sudah siap, dalam sekejap pun habis mengilang di dalam mulut kami. Tenda dan peralatan yang kami gunakan di camping ground pun sudah lenyap masuk kedalam tas gue. Ini berarti saatnya kami pulang.

“kamu fotoin aku dong aku mau foto pake kertas nih”

“ishhh dasar ga usah naik sama aku lagi kalo besok masih foto pake gaya begituan” jawab gue singkat padat dan jelas, jelas jutek. Karena gue ga suka foto dengan metode kaya begitu.

Dia berdiri di depan pohon edelweis dengan memegang kertas sambil tersenyum manis. Gue mundur sekitar 5 langkah lalu membidik kamera yang gue pegang dan mengabadikan moment tersebut. Beberapa kali shutter gue pencet dan terekam lah beberapa gambar yang bisa dilihat dan disimpan untuk kenang kenangan.

Hari mulai siang, matahari pun kembali menjadi sosok jahat seperti kemarin. Namun siang ini sangat jahat. Seolah menertawakan gue dan memberi 223424 kali panasnya untuk membakar kulit dan hati gue karena sepanjang perjalan turun tak ada satu kata pun yang terucap dari mulut kami berdua. Sampai akhirnya kami tiba di bibir kawah yang dibawahnya penuh dengan batu batu yang tersusun membentuk nama nama yang mungkin ada di buku kumpulan 25 juta nama nama indah.

“kamu mau ga turun kebawah terus bikinin nama aku?”

“yaudah kalo itu mau kamu”

Segera gue turun ke dasar kawah mati berlari sekuatnya agar segera sampai di dasar. Tangan gue cekatan mengumpulkan batu batu dan menyusun sesuai alphabet namanya. Di atas sana dia tampak antusias memotret apa yang baru saja gue lakukan untuknya. Gue segera kembali keatas dan melanjutkan perjalan untuk pulang kerumah.

9:00 pm

Bisa antar kota antar provinsi melaju pelan keluar dari terminal garut menuju depok. Gadis disamping gue nampak lelah dalam lelapnya. Gue pun lelah namun bukan hanya lelah fisik namun lelah batin. Gue mengambil kamera mencoba membunuh waktu melihat gambar gambar yang sempat kami abadikan. Beberapa foto membuat gue tersenyum melihat kecerian yang ada di gambar. Namun, bibir gue sekejap menutup, nafas berhenti beberapa detik, dan mata gue tak dapat berkedip saat gue melihat foto yang diambil saat gue ada didasar kawah menyusun namanya dari batu. Bukan. Bukan gue yang ada di dalam foto tersebut. Melainkan kertas bertuliskan “angga” dengan background susunan batu yang membetuk nama seorang gadis yang ada disamping gue. Kertas yang sama seperti yang gue foto saat di depan pohon edelweis lengkap dengan jersey chelsea pemberiannya yang sama seperti apa yg gue lihat ketika gue membuka mata selepas terlelap karena lelah semalaman terjaga karena mengkhawatirkan kondisi fisik gadis yg saat ini terlelap di samping gue.

Terima kasih papandayan, atas pelajaran yang sangat berharga. Membuat fisik gue menjadi lebih kuat karena membawa beban yg sangat berat untuk perlengkapan di camping ground, beban yang belom pernah gue bawa sama sekali sebelumnya. Membuat mata gue lebih kuat terjaga karena semalaman tidak tidur untuk terus memantau kondisi fisik seseorang yang gue khawatirkan dan juga mengajarkan melihat apa itu hal yang menyakitkan. Terima kasih juga telah mengajarkan apa itu kesabaran, keikhlasan dan keteguhan hati agar tetap tersenyum walaupun itu pahit. Dan terimakasih juga papandayan telah memberikan sebuah prinsip dalam hidup gue yaitu jangan pernah sekalipun mengharapkan hal yang sudah pergi untuk kembali.

Terima kasih desember, kamu luar biasa.

1 komentar: